TINDAKAN adalah aktualisasi dari kata-kata. (W.S Rendra)

INDONESIA BERTINDAK adalah sebuah langkah kecil yang dimulai oleh sepasang suami-istri yang mendambakan kembalinya sebuah kebanggaan dari seluruh rakyat pada bangsa dan negaranya.

INDONESIA BERTINDAK adalah sebuah gerakan nyata yang bertujuan mewujudkan tindakan dalam menciptakan perbaikan, kekompakan dan kebersamaan pada bangsa Indonesia yang sedang berjuang lepas dari masa-masa sulit sekarang ini.

INDONESIA BERTINDAK senantiasa berusaha mengangkat issue yang berhubungan langsung dengan kebutuhan rakyat dan kebanggaan atas negara tanpa berdiri di atas kepentingan agama, suku,partai atau golongan atau ras tertentu.

INDONESIA BERTINDAK tidak mewakili suara pemerintah Republik Indonesia.


Salam,


Indah dan Iwan Esjepe
iwan_esjepe@yahoo.co.id
Phone : 0888-8-17-1945

Senin, 31 Maret 2008

Ayo kita kabarkan pada dunia!


Selamat pagi Indonesia...
Selamat pagi kawan-kawan...

Langsung saja pada pokok permasalahan,

Bekerja sama dengan milis CREATIVE CIRCLE INDONESIA: creative_circle_ind@yahoogroups.com dan IMAGO School of modern Advertising, INDONESIA BERTINDAK mengadakan sebuah lomba pembuatan iklan "propaganda" Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful", sebuah langkah yang kami harap bisa memberikan kesempatan bagi seluruh masyarakat untuk bertindak nyata bagi Indonesia, menciptakan komunikasi berkualitas bagi kampanye untuk mengembalikan kegemilangan negeri ini.

Curahan pikiran tenaga dan keahlian Anda dalam membuat sebuah pesan pada dunia bahwa Indonesia terlalu indah untuk dihindari sangat kami nantikan.

Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk membela negaranya.

Perbaikan citra Indonesia, adalah tanggung jawab kita semua.

Kami tungggu karya Anda, sebagai pembelaan pada Indonesia.

Penjurian dan hadiah lomba juga bisa dilihat di file: creative_circle_ind@yahoogroups.com

Bassic brief :

Background :

Di mata dunia internasional, image Indonesia saat ini berada dalam kondisi yang sangat menghawatirkan. Khususnya di bidang pariwisata, Indonesia mendapat pukulan yang sangat telak, banyak negara memasukkan negeri ini dalam daftar negara yang berbahaya untuk dikunjungi.

Kondisi seperti ini tak hanya berdampak buruk bagi industri pariwisata Indonesia secara khusus, tetapi lebih besar juga pada kondisi perekonomiannya.

Indonesia is a DANGEROUS country masih dan selalu didengungkan, banyak turis dan calon penanam modal yang ragu untuk datang ke negeri ini. Beberapa negara tetangga banyak memetik keuntungan dari perlakuan Travel warning dari negara-negara seperti Amerika, Uni Eropa, Australia dan lainnya.

Objective :

Perbaikann total harus dilakukan, salah satu titik penting yang perlu kita benahi adalah memperbaiki citra melalui komunikasi pengembalian citra baik tersebut.

Action :

Perlu adanya upaya Switching image pada seluruh warga dunia, dari Indonesia,
a DANGEROUS country menjadi Indonesia DANGEROUSLY BEAUTIFUL country, sebuah negeri dengan kecantikan tiada tara.
Tone and manner :

Positif statement tanpa terjebak menjadi "Uber alles" (apa nih istilah benernya)

“Several countries have issued travel warnings not to visit to Indonesia.
Its now your time to make a statement that Indonesia is too beautiful to be passed”.

Salam hormat,

indah dan iwan esjepe
Prev:

Rabu, 19 Maret 2008

Bandung, api semangat itu masih menyala

Jakarta, 24 Nopember 2007 (hampir tengah malam)

Perjalanan Jakarta - Bandung sekarang memang bisa ditempuh dengan waktu lebih cepat, Tol Cipularang mendekatkan jarak dua kota itu, namun walau kini lebih dekat dan bisa ditempuh lebih cepat, kaki ini tetap saja merasa pegal.

Malam sudah hampir menjelma pagi, tapi justru kantuk tak kunjung tiba.
Tak bisa tidur saya malam ini.

Sosialisasi kembali akan keindahan negeri melalui kampanye Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful tadi siang baru saja kita lakukan, disupport penuh oleh puluhan mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di Bandung, gerakan ini kita mulai dari lokasi kumpul di Super Indo Dago, dulu tempat ini lebih dikenal dengan sebutan Gelael, ya mungkin karena pernah ada toko milik keluarganya Ricardo Gelael di tempat itu itu.

Rasa lelah menyetir mobil dari Jakarta, langsung hilang saat melihat wajah-wajah teman mahasiswa yang berdatangan, mayoritas mereka tiba dengan mengendarai motor, ada juga beberapa yang turun dari angkutan umum. Tanpa mengharap (dan memang tidak ada) bayaran sepeser pun mereka bersedia meluangkan waktu dan memberikan tenaganya.

Brief singkat, tanya jawab pendek soal pengaturan jalur penyebaran sticker berlangsung cepat. Tak cuma membagikan, mereka juga memberi penjelasan tentang kampanye yang sedang dilakukan.

Kata pembuka yang sering kita berikan berupa pertanyaan, "Apakah bapak/ibu/Anda cinta pada Indonesia?" Biasanya orang yang kita tanya itu akan memelototi kita, matanya terbelalak dan merasa seolah diragukan cintanya pada negeri ini, banyak yang langsung menjawab, "Iya dong, Indonesia tanah airku!". Ada juga yang memberi respon, "Selalu, saya selalu cinta sama Indonesia".

Dari semua jawaban yang kita dengar hari ini, jawaban seorang kakek yang sudah sangat tua di kawasan Braga terdengar agak berbeda "Aki mah ti baheula 100% Indonesia, moal robah. Batur aki nggeus loba nu gugur, era mun ayuena teu cinta deui ka Indonesia mah. Era ka babaturan aki nu ayeuna di Cikutra (taman makam pahlawan)", begitu ucapnya.

Di sorot coklat keruh matanya masih terlihat semangat lautan api, saat kita tanya, "Tahun berapa aki perang?", dengan jelas dia menjawab lantang, "Bulan Maret, 46!"

Saya jadi penasaran, apa betul kakek itu benar terlibat dengan peristiwa perjuangan bersama Mohammad Toha. (Tapi saya urung melihat buku sejarah, saya percaya sepenuhnya, kakek tua itu pernah berjuang dan masih cinta dengan negeri yang pernah dibelanya dengan menyabung nyawa).

Sayang saya lupa bertanya nama dan alamat lengkapnya, sebelum berpisah, kakek tadi sempat minta beberapa sticker tambahan, "Untuk incu aki, biar makin bisa jaga negeri ini".

Kakek tua itu lalu memasukkan sticker ke dalam saku safari hijau kumalnya, memberi senyum, lalu melangkah pergi menjauh. Melihat punggung bungkuk dan langkahnya yang terlihat terseret, air mata saya pun tiba-tiba jatuh (Ya, Allah, semoga keinginan kakek tua itu akan sebuah negeri yang terjaga baik bisa terwujudkan).

Peristiwa lain adalah saat kita ketemu dengan seorang banci di sebuah perempatan jalan, bertemu dengan sekelompok murid SD yang sedang akan latihan sepak bola, dengan kang dadang yang memulung di sekitar Gasibu, dengan teman-teman pedagang kaki lima di sekitar Dago yang dengan sukarela mempersilakan kita menempelkan sticker di gerobak dagangannya, dengan para pengamen, para pengemudi angkot dan beberapa turis yang kami temui keluar-masuk Factory outlet.

Rasa salut, hormat dan sayangku untuk adik-adik mahasiswa yang tadi siang mengabaikan panas, mengajak semua orang kembali memperbaiki negerinya. Semangat itu juga yang membuat pegal kaki saya hilang.
Siapa lagi yang bisa membela/memperbaiki negeri ini selain kita, rakyat Indonesia.

Kakek tua tadi, teman-teman mahasiswa (dan kita) pasti tak akan hidup selamanya, namun semangat Bandung, semoga tetap bisa kita jaga kelangsungannya..

Aaah!!!
Seandainya saja saya tadi sempat, ingin rasanya mengajak kakek tua itu bernyanyi;

Halo-halo Bandung...Ibukota Periangan
Halo-halo bandung... Kota kenang-kenangan
Sudah lama beta, tidak berjumpa dengan kau
Sekarang telah menjadi lautan api
MARI BUNG REBUT KEMBALI !!!

(Cengeng!! kenapa air mata saya jatuh lagi!?)


Salam perjuangan,

indah dan iwan esjepe

TRAVEL WARNING : INDONESIA, DANGEROUSLY BEAUTYFUL



Dimuat di KABAR Indonesia Vol II Issue 13, 2007


“the books about Indonesia are books about the bad things: JI, GAM, etc. If I erased everything I know about Indonesia and just read these books, I’d think it’s like Uganda… I don’t want to go there!”

ACTION FOR INDONESIA

Indonesia Bertindak: spreading a positive virus.

Moved by longing for the return of national pride for the whole nation, for the improvement, solidarity and togetherness, Jakarta based Iwan and Indah Esjepe are the founders of Indonesia Bertindak (Action for the Nation). Their aim is to raise awareness and provoke people into action on issues directly connected to the needs and to the pride of the nation, without promoting the interests of any particular religion, ethnicity, political party or race.

Prior to starting his own communications company, ideasphere, Iwan career took him from journalism, to copywriting, to the role of Creative Director at several international advertising agencies. He met his wife Indah at Grey, where she was an art director.

Their initiative, Indonesia Bertindak, is an umbrella movement for issues related to economic, political and social problems. Iwan’s message to his fellow citizens is simple: “Stop crying, stop complaining, let’s do something!”

In December 2004, the couple was in holidays in Bali when the tsunami hit Aceh. “A lot of friends got in touch wondering “What can we do?” says Iwan. It seemed that there was no coordination, and to compound this, a lot of people didn’t trust the government to give adequate assistance. Iwan start collecting donations and looking for ways to raise funds. The first action taken by Indonesia Bertindak was to make a t’shirt, across which was emblazoned “I heart NAD” (Nangroe Aceh Darussalam). Iwan and Indah sold the t’shirt and sent 100% of the fund raised to Aceh.

“Then when the Jogya earthquake happened, people asked, ‘where are your t’shirts? I want to do something but I don’t know what to do.”

Iwan discovered that, after food and medicine were provided, one of the most sought- after commodities in Jogya was clean underwear. He fondly recalls going to the market to purchase almost 10 dozen pink bras for the cause. “With friends, we also helped to build a school there – now there is an engraved stone at that school, dedicated to us,” he says enthusiasthcally.

Having been involved in these emergency situations, Iwan and Indah started to wonder why it always seemed that it was necessary for disaster to strike before people would be inspired to positive action. They decided to find an issue that is important for this country and were struck by how the tourism industry has suffered in recent years. “Even if bombs are happening elsewhere, it still bad impact on Bali,” sighs Iwan.

The negative images of the country that proliferate through the internet are overwhelming at times; whether of natural disasters, bombmakers or bloodshed. “Even in Kinokuniya,” says Iwan, “the books about Indonesia are books about the bad things: JI, GAM, etc. If I erased everything I know about Indonesia and just read these books, I’d think it’s like Uganda… I don’t want to go there!”

He and his wife took their professional experience in playing with words and put it to good use to come up with their own style of Travel Warning, with the tagline “Dangerously Beautiful”. It’s a striking, catchy statement; so much so that a Bali friend warned Iwan to register the design before people started to copy it. Iwan’s response to this indicative of the couple’s altruistic commitment to the movement. “If they copy it, more people will see. That’s a good thing.” On the other hand, if people buy the bags and t’shirt with the original design, it helps to support the movement. “We just want to be cheerleaders for the Indonesian people: we are a big nation, so why not work together?”

“We don’t say that we are safe, because nowhere is safe. But in other countries, you don’t see a travel warning because the government can’t protect even one university for example,” he says, referring to the recent shootings at Virginia Tech.

Iwan sees a major problem in the fact that there doesn’t seem to be enough between the Foreign Ministry and the Ministry of Tourism. “I don’t want to blame them, so I said to my wife, let’s do something.”

Indonesia Bertindak seeks to have a positive impact on 2 levels; firstly, to make Indonesians more proud of their own country, and secondly, to give foreigners new prespective on Indonesia. Speculating on the current frailty of Indonesian national pride, Iwan looks first to the economic situation. “People think about their stomachs first.” A second issue is coordination; while various people have their own strategies on how to boost the nation, there is no grand strategies such as exist in Malaysia.

The Indonesian people do love this country,” concludes Iwan. “They just don’t know how to express it sometimes”.

Note:

KABAR Indonesia is the official publication of the Jakarta International Community Center.

(A zillion thanks to Jan and Avi, KABAR Indonesia Magazine)

Maklumat, INDONESIA mendambakan Anda



Indonesia Bertindak mengajak semua warga negara Indonesia, baik yang berada di Indonesia maupun yang sedang berada di luar negeri untuk bisa meluangkan waktu, mencurahkan pikiran dan tenaga bagi perbaikan kondisi negeri ini. Usaha sekecil apapun akan sangat berarti apabila bisa kita kerjakan secara bersama, paduan dari kemampuan banyak individu yang disinergikan niscaya akan menjadi sebuah kekuatan yang tak pernah dibayangkan.

Sebuah gunung tinggi menjulang, tak lebih dari ratusan juta milyar pasir yang saling erat melekat, jutaan individu yang bersatu, akan bisa menyelesaikan semua masalah yang menghadang.

Indonesia mendambakan Anda.

Indonesia bertindak menerima saran, ide dan tindakan-tindakan positif sekecil apapun bagi tersegerakannya kembalinya kejayaan
Republik Indonesia.

Jadilah Cheerleader bagi perbaikan kondisi bangsa dari/di lingkungan terkecil Anda.

Memulai dari diri sendiri adalah langkah awal perbaikan negeri ini.

Salam perjuangan,

Indah dan Iwan Esjepe

Masih berniat melancong ke Malaysia?



Iklan "Malaysiaku... Malaysiamu juga" yang banyak menghiasi surat kabar, dan lokasi strategis di Jakarta dipercaya menyedot sangat banyak wisatawan asal Indonesia. Petronas, Sepang, Genting menjadi tujuan jutaan turis-turis Indonesia.

Milyaran rupiah uang pun berpindah

Di saat panas hubungan terjadi antara Malaysia sekarang ini,
seorang teman bertanya melalui SMS :

"Gimana ya wan, liburan ke Malaysia gue...
Gue jadiin apa gue batalin aja?"

Saya tidak balas sms itu.

Karena saya sedang santai menikmati kelapa muda di pinggir pantai senggigi, di Lombok.
Menikmati pemandangan laut yang indah dengan orang-orang yang senantiasa tersenyum ramah.



Apakah Anda masih berniat melancong ke Malaysia?

Salam,
Indah dan Iwan Esjepe
Indonesia, bagi kami kau tetap yang utama.

Mengapa kita harus mencintai Malaysia?




Selalu ada pesan yang tersembunyi dari setiap peristiwa yang terjadi.

- Ketika Sipadan dan Ligitan berpindah tangan ke Malaysia, kami belajar untuk lebih mencintai dan menjaga ribuan pulau yang Indonesia miliki,

- Ketika banyak tenaga kerja Indonesia dipekerjakan dan diperlakukan secara tidak manusiawi, kami belajar untuk bisa lebih mempersiapkan sebuah negeri yang bisa memberi lapangan pekerjaan bagi warga negaranya sendiri,

- Ketika mendengar banyak kayu ilegal mengalir ke Malaysia kami belajar akan pentingnya memiliki keamanan perbatasan yang kuat dan aparat yang jujur tidak mendahulukan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

- Ketika iklan pariwisata Malaysia lebih menarik dan menyedot banyak turis asal Indonesia kami belajar untuk lebih bisa memaksimalkan koordinasi dan potensi pariwisata di negeri ini.

- Ketika beberapa oknum polisi Diraja Malaysia mengeroyok seorang wasit karate dari Indonesia kami belajar bahwa semakin hari negeri kita ini semakin tak dihargai apalagi ditakuti.

Malaysia telah dijadikan tuhan sebagai cermin, agar bangsa Indonesia segera berbenah diri.

Mengapa kita harus membenci?

Mari kita segera BERTINDAK, memperbaiki diri, agar kembali menjadi negara yang dihargai, jika tidak, makin parah kondisi yang akan dialami anak cucu kita nanti.

Mari kita melihat tahi sebagai pupuk yang bisa punya manfaat tinggi (hehehe, biar Rhyming)

Salam,

Indah dan Iwan Esjepe
Bintaro, malam... hampir pagi.

Duta-duta muda Indonesia


Karena kebaikan hati Wimar Witoelar aku bisa berkenalan dengan Patrick Manurung, anak muda penuh semangat yang sekarang sedang menuntut ilmu di Groningen, sebuah kota kecil cenderung sunyi di Negeri Belanda. Ditemani istrinya, Opi dan Nara, anak semata wayangnya, Patrick sekitar 4 tahun terakhir tinggal di negeri kincir ini. Walau jauh dari Indonesia, perhatiannya pada negeri ini sangatlah kental terasa, rasa cintanya pada negeri ini mengingatkan aku pada Mohamad Hatta yang juga pernah mengenyam pendidikan di salah satu negara Eropa ini.

Sesuai perjanjian, dia akan datang ke Den Haag untuk membicarakan rencana kampanye anti Travel Warning di Belanda khususnya dan Eropa Barat pada umumnya.

Sambil menunggu kedatangannya di rumah familiku, di Malakkastraat 48, kulihat De Telegraaf, surat kabar berbahasa Belanda yang tergeletak di atas meja, iseng-iseng kubuka-buka halaman per halaman, sampai terhenti di halaman 8 koran tanggal 18 Juli 2007. FOX adverteert met risicovolle Indonesische maatschappijen. ANWB negeert zwarte vlieglijst. Problem baru muncul, citra Indonesia kembali ikut terancam.

Patrick akhirnya muncul, terlambat sekitar dua jam dari rencana, masalah transportasi ternyata tak hanya terjadi di Indonesia, sebuah halilintar besar menghajar sebuah kabel listrik yang berhubungan dengan lalu lintas Kereta Api. Sore itu transportasi KA di Belanda kisruh.

Di sebuah kafe di dekat centrum Den Haag sore itu kita bicarakan banyak hal, bir dingin sore itu cukup menghangatkan badan yang didera dinginnya udara kota. Udara dingin makin tak terasa ketika kita mulai bergerak, menempelkan dan membagikan beberapa stiker Travel Warning: Indonesia, Dangerously Beautiful pada orang-orang di sekitar taman dan pertokoan sekitar centrum.

Selain membagikan sticker, Patrick juga sibuk memotret, buat dokumentasi sekaligus untuk informasi buat teman-teman mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda.
Walau jam sudah menunjukkan pukul 20.00, matahari masih belum mau tunduk di ufuk barat, Secara mengejutkan dan menyenangkan kemudian muncul pula Michael Putra Wenas, mahasiswa Indonesia yang sekarang sudah bekerja di Shell, ditemani Aldo Tomasoa, Regi Laurensius dan seorang teman lain.

Rencanapun dibuat, teman-teman mahasiswa itu sepakat untuk BERTINDAK, menjadi duta bangsa yang berupaya memperbaiki citra negerinya melalui Kampanye TRAVEL WARNING: Indonesia, Dangerously Beautiful. Sebuah langkah awal baru saja mereka canangkan, membela nama Republik Indonesia di mata dunia internasional. Terima kasih duta-duta muda bangsa, semoga gerakanmu diikuti teman-teman di tempat lain, di dalam negeri lebih khusus lagi.

Indonesia pasti bangga, punya orang muda yang bisa menjadi duta bangsanya.

Salut besar juga untuk Christian Santoso, Elsa Adriana, Taman, Adept, Herdian Lasut, Wibi Nugroho dan lainnya.

Iwan Esjepe
Den Haag, Tengah malam, pertengahan Juli 2007

Kanal-kanal Amsterdam, sebuah terawang pulang

Dari 5 kali kesempatan mengunjungi Amsterdam, baru kali ini aku menyempatkan diri mengikuti tour mengelilingi kota melewati kanal-kanalnya yang terkenal di seluruh pelosok dunia. Amsterdam, termasuk kota lumayan tua di Eropa. Di beberapa jembatan kanalnya tertulis tahun di mana jembatan itu dibangun, 1728 salah satunya.


Saat kita mengarungi kanal-kanal itu, kita menerobos jembatan-jembatan tua yang cantik, melihat kapal yang dibuat mirip dengan kapal-kapal VOC yang pada jamannya hilir mudik melintasi samudra luas mengeruk hasil bumi Indies yang kini bernama Indonesia. Melihat berbagai rumah-rumah mewah yang dibangun di masa kejayaan kerajaan Belanda. Masih berdiri kokoh dan menampakkan kecantikan tak lekang waktu.


Di saat semua penumpang kapal wisata itu berdecak kagum, fikiranku menerawang pulang menjenguk masa lalu. Ribuan pertanyaan berhamburan, darimana asal uang untuk mendirikan bangunan-bangunan antik ini berasal? Darah dan keringat rakyat indies mana yang tumpah? Tanah indies mana yang digali dan dikeruk hasil buminya? Pohon cengkeh, tembakau, vanili, karet dan aneka hasil kebun mana yang dipangkas untuk diangkut dan dijual di pasar penting dunia? Dari tanah jauh di timur sana kota ini dibangun, dari negeri yang sekarang bernama Indonesia, kota ini besar dan diperhitungkan dunia.





Tak semua generasi muda Belanda tahu, darimana uang pembangunan kota, kanal dan segala keperluannya di masa lalu itu berasal. Bisa dimengerti juga jika pemerintahan negara itu berusaha hanya memperlihatkan masa lalu “putih” negerinya, kepada generasi penerusnya.

Pertanyaan terus deras mengalir, bagaimana ceritanya, sebuah negeri yang “tak terlalu luas” ini bisa menguasai sebuah kawasan yang ribuan kali luas negerinya, lebih dari 350 tahun lamanya.

Termasuk juga pertanyaan, mengapa saat negeri itu kini merdeka dan bisa mengembangkan dirinya, justru terpuruk, miskin, saling menyakiti, sulit kompak dan semakin kehilangan harga dirinya.

Lamunan terhenti ketika juru mudi kapal itu membungkuk, membukakan pintu kapal, dan mempersilakan aku turun.

Tour keliling kanal kota Amsterdam selesai.

Pertanyaanku belum terjawab.

Iwan Esjepe,
Amsterdam, pertengahan Juli 2007

“Cheerleader” Untuk Indonesia

Dimuat di Reader's Digest Indonesia Edisi Agustus 2007

Kepeduliannya atas negeri ini kerap beroleh tanggapan miring bahkan kecurigaan . Namun Iwan dan Indah nekad jalan terus, mewujudkan cita-cita mereka menjadi cheerleader alias pemandu sorak, yang menyemangati seluruh rakyat Indonesia.

Pagi itu, tanggal 26 Desember 2004, sekitar pukul 09.00WIB, Iwan Esjepe, 40, dan istrinya, Rachmayani Indah Setianingrum, 37, tengah sarapan di sebuah restoran yang terletak di pinggir pantai Kuta, Bali.

Sambil asyik memperhatikan pemandangan, dan putra mereka, Ikyu Muti Arrumi, 5, yang tengah asyik bermain di pantai, Iwan sempat melontarkan tanya kepada Indah, “Wah, kalau ada tsunami kita lari ke mana, nih?” Indah menanggapi canda Iwan sekadarnya saja. Usai sarapan plus menikmati keindahan alam pantai Kuta, mereka pun kembali ke hotel.

Tak berapa lama, sebuah pesan SMS yang berasal dari Indri Sudowo, adik Iwan yang tinggal di Brisbane, Australia, masuk ke ponsel: “Indonesia kena tsunami, ya?”

Iwan dan Indah pun terkejut. Pasalnya mereka belum beroleh kabar apapun tentang terjadinya tsunami di Indonesia. Iwan segera menyalakan teve di kamar hotel mereka, dan benar saja, sejumlah stasiun teve tengah menayangkan bencana tsunami yang melanda Bangladesh, Thailand, dan juga di Aceh.

Saat itu juga Iwan dan Indah merasa sangat prihatin, sekaligus bersyukur diloloskan dari bencana dahsyat yang dapat saja menimpa mereka. Namun tak hanya sampai di situ saja.



”Kami ingin melakukan sesuatu, tapi bingung, tidak tahu
harus berbuat apa,” ujar Iwan. Sampai akhirnya, setibanya di Jakarta, muncul ide mengumpulkan dana dengan cara membuat kaos dan menjualnya.

***

Membuat disain sebuah kaos bukan hal yang baru bagi Iwan dan Indah. Itu lantaran keduanya merupakan “orang periklanan” yang memang kerap berkutat dalam soal kreativitas menjual produk lewat disain iklan dan olah kata-kata.

Kebetulan, Iwan dan Indah memiliki alat sablon kaos di rumah mereka. Dengan menggunakan uang dari kocek mereka sendiri, kaos-kaos berdisain unik mulai mereka produksi. Usai itu, Iwan, yang pernah menjabat sebagai Creative Director di sejumlah perusahaan periklanan ternama di Indonesia, tanpa merasa segan atau malu-malu, menawarkan kaos-kaos seharga 50 ribu rupiah tersebut ke sejumlah orang, mulai dari teman dekat, rekan sekerja, dan sebagainya.

“Awalnya banyak yang bertanya-tanya,’ngapain, sih?’, ‘di-audit, nggak?’ atau bahkan bernada miring menuduh kami memanfaatkan bencana untuk kepentingan pribadi,” ujar Iwan. “Padahal, kenyataannya justru kami yang habis-habisan keluar dari kocek keluarga.”

Hal tersebut memang sempat membuat Iwan merasa down dan ragu untuk melanjutkan upaya penggalangan dana. Namun, Indah segera menyemangatinya, “Kenapa harus ragu kalau niatnya memang baik?”

Dan Iwan pun segera menghapuskan kegalauan hatinya, dan terus menggalang dana lewat kaos karyanya. “100 persen hasil keuntungan penjualan kaos-kaos tersebut kami donasikan untuk Aceh,” ujar Iwan.

Untuk penyampaian bantuan di Aceh, Iwan memutuskan untuk bekerjasama dengan sebuah yayasan yang dikelola oleh sebuah kelompok media. “Kami tahu benar komitmen yayasan tersebut, dan memang sudah sejak lama yayasan tersebut memiliki jaringan yang cukup kuat di Aceh.”

*

Kesempatan untuk membantu sesama muncul kembali saat bencana gempa bumi melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah. “Kami kembali mendisain dan memproduksi kaos untuk penggalangan dana,” jelas Iwan.

Lagi-lagi mesin sablon milik mereka berjasa besar. “Hanya dalam waktu tiga jam setelah gempa, disain kaos selesai dibuat. Tiga hari kemudian, kaos sudah siap dijual untuk penggalangan dana. Dengan demikian, kami dapat mempersingkat waktu untuk memberi bantuan,” tegas Iwan.

Saking cepatnya kaos buatan Iwan dan Indah beredar, sambil bercanda, sejumlah teman dekat sempat mengomentari bahwa pasangan ini mempunyai jadwal bencana di Indonesia.

“Padahal, yang berjasa itu adalah mesin sablon kami yang berada di rumah,” ujar Iwan sambil tertawa. “Kalau di jaman revolusi, mesin cetak adalah alat terpenting, di masa seperti sekarang ini, mesin sablon lah yang terpenting. Itu karena hanya dalam waktu beberapa jam, kita sudah dapat menyampaikan pesan di selembar kaos, memakainya, dan hanya dengan berjalan-jalan, pesan dapat tersampaikan.”

Seperti halnya pada penggalangan dana Aceh, Iwan dan Indah juga bekerjasama dengan sebuah yayasan untuk menyampaikan bantuan. Namun, selain itu mereka juga langsung mendatangi lokasi bencana, dan menyerahkan bantuan.

“Dengan dana tersebut, kami membelikan sembako, sarung, cangkul, sampai beha, juga celana dalam, dan mengantarkannya langsung ke sebuah desa bernama Padasan, Imogiri,” papar Iwan.

Iwan sempat gelagapan ketika ditanya penduduk setempat yang hendak mencatat dari yayasan atau lembaga mana bantuan tersebut berasal. “Saya jawab saja: ‘dari pembeli kaos’,” kata Iwan tersenyum.

*

Bagi Iwan dan Indah, kegiatan membantu sesama merupakan pengalaman yang amat membekas di hati. Keprihatinan pasangan ini akan kondisi Indonesia telah membuka mata mereka untuk terus melakukan sesuatu bagi negeri tercinta.

“Dari sana muncul ide Action for The Nation alias Indonesia Bertindak. Intinya adalah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berusaha, dari dan untuk rakyat,” jelas Iwan.

Berbagai isu sosial pernah diangkat Iwan dalam bentuk komunikasi massa. Misalnya saat busung lapar melanda negeri ini, Iwan dengan cerdas mengkomunikasikan isu tersebut dengan printing material berupa gambar sendok yang difoto pada sisi cembungnya – menyerupai perut yang buncit akibat busung – dan memberinya komunikasi kata: Sendok Tanpa Nasi, Nasi Tanpa Gizi.

Begitu pula saat Indonesia divonis lewat travel warning, oleh sejumlah negara. “Kondisi Indonesia digambarkan sangat buruk, berdarah-darah, bahkan digolongkan sebagai kawasan Red Zone,” ujar Iwan kesal. “Saya rasa, siapapun, Warga Negara Indonesia, pasti prihatin dengan travel warning yang dijatuhkan atas negara kita.”

Tapi, menurut Iwan, pada kenyataannya memang tak ada tempat atau negara yang benar-benar aman di dunia ini, dan travel warning cenderung bermuatan politis. “Buktinya, berkat” travel warning, negara tetangga kita justru beroleh panen besar di bidang pariwisata!” tegas Iwan.

Namun Iwan pun menyadari bahwa Indonesia tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk melawan stigma negatif tersebut. Lagipula, penerapan travel warning memang merupakan hak sebuah negara untuk melindungi warga negaranya.



Kembali Iwan dan Indah tak berhenti sampai di situ saja. “Kalau mereka punya hak menetapkan travel warning, saya juga punya hak menetapkan”TRAVEL WARNING: INDONESIA DANGEROUSLY BEAUTIFUL!“ ujar Iwan bersemangat.

Yang dimaksud Iwan tak lain adalah kampanye terbalik alias reverse campaign atas Indonesia, di mana justru peringatan kepada para wisatawan, bahwa keindahan Indonesia sungguh luar biasa, sehingga mampu membius siapapun yang mengunjunginya – yang dianalogikan sebagai dangerously beautiful.

Slogan tersebut kemudian dituangkan Iwan dalam bentuk stiker, kaos, tas dan pin, dan mulai disebarkan pada medio Maret 2007. “Untuk pembuatan stiker, saya dibantu oleh seorang tetangga, yang bersedia dibayar secara nyicil, lho!” jelas Iwan, yang menghabiskan dana awal sebesar 30 juta rupiah untuk mewujudkan kampanyenya ini.

Walau lagi-lagi dia sempat mendapat cap negatif, seperti sok kaya dan kurang kerjaan, Iwan tetap gigih menggerakkan jejaringnya untuk menyebarkan virus perubahan ini. “Sejumlah teman – orang asing – yang berada di luar negeri, ataupun sahabatnya yang hendak bepergian, baik ke dalam negeri maupun luar negeri, bersedia membantu menyebarkan stiker ini,” kata Iwan.

Bahkan, beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan consumer goods bersedia mencetakkan stiker sebanyak 250 ribu lembar. “Hebatnya, perusahaan tersebut bersedia namanya tidak dicantumkan sedikitpun di stiker tersebut,” papar Iwan.

Stiker berwarna dasar merah dan kuning menyala tersebut memang terbukti mampu memprovokasi siapapun yang melihatnya. Hanya saja, tak jarang ada pihak yang salah menyikapinya, bahkan curiga.

“Maklumlah, kampanye ini menggunakan bahasa Inggris, sementara, pemahaman orang Indonesia soal hal ini masih kurang,” ujar Iwan. Namun, justru dengan penggunaan Bahasa Inggris tersebut, Iwan berharap kampanyenya dapat lebih bersifat global.

Tak hanya itu. Saat sejumlah civitas akademika di Bandung, yang turut mendukung kampanye Iwan, tengah turun ke jalan, mereka sempat ada juga oknum aparat pemerintah di lapangan yang justru berharap dapat menangguk untung dari kampanye ini.


Di sisi lain, Iwan tetap berharap agar kampanyenya ini dapat dilirik oleh pihak-pihak lain, seperti pemerintah. Tak lain karena sesungguhnya efektifitas kampanye ini akan lebih terasa bila dikerjakan secara bersama-sama. ”Apalah artinya seorang Iwan dan Indah, yang memiliki kemampuan terbatas ini,” ujar Iwan dengan nada merendah. ”Memunculkan kesadaran inilah yang sulit.”

Menurut Iwan, yang dia dan Indah cita-citakan sebetulnya tidak sulit. ”Kami hanya ingin menjadi cheerleader alias pemandu sorak bagi rakyat dan pemerintah Indonesia, agar solid dalam segala permasalahan yang menghadang bangsa ini,” tegas Iwan. ”Bagi kami, bila kampanye ini ternyata gagal, tak menjadi masalah. Yang terpenting, kami pernah berbuat secara nyata, dan melakukan tanggungjawab kami terhadap generasi yang akan datang.”

INDONESIA DANGEROUSLY BEAUTIFUL. ABSOLUTELY!

Penulis, Antono Nursatyo Purnomo

-----

Iwan dan Indah lewat Indonesia Bertindak, kini tengah berusaha mewujudkan kegiatan Lomba Poster Propaganda Pariwisata Indonesia. Dengan kaedah komunikasi ala dunia periklanan, lomba ini ditujukan untuk membalik stigma buruk tentang Indonesia di mata dunia internasional. Untuk mendukung kampanye Indonesia Bertindak, Anda dapat mengirimkan SMS ke 0888-8-17-1945.