Dari 5 kali kesempatan mengunjungi Amsterdam, baru kali ini aku menyempatkan diri mengikuti tour mengelilingi kota melewati kanal-kanalnya yang terkenal di seluruh pelosok dunia. Amsterdam, termasuk kota lumayan tua di Eropa. Di beberapa jembatan kanalnya tertulis tahun di mana jembatan itu dibangun, 1728 salah satunya.
Saat kita mengarungi kanal-kanal itu, kita menerobos jembatan-jembatan tua yang cantik, melihat kapal yang dibuat mirip dengan kapal-kapal VOC yang pada jamannya hilir mudik melintasi samudra luas mengeruk hasil bumi Indies yang kini bernama Indonesia. Melihat berbagai rumah-rumah mewah yang dibangun di masa kejayaan kerajaan Belanda. Masih berdiri kokoh dan menampakkan kecantikan tak lekang waktu.
Saat kita mengarungi kanal-kanal itu, kita menerobos jembatan-jembatan tua yang cantik, melihat kapal yang dibuat mirip dengan kapal-kapal VOC yang pada jamannya hilir mudik melintasi samudra luas mengeruk hasil bumi Indies yang kini bernama Indonesia. Melihat berbagai rumah-rumah mewah yang dibangun di masa kejayaan kerajaan Belanda. Masih berdiri kokoh dan menampakkan kecantikan tak lekang waktu.
Di saat semua penumpang kapal wisata itu berdecak kagum, fikiranku menerawang pulang menjenguk masa lalu. Ribuan pertanyaan berhamburan, darimana asal uang untuk mendirikan bangunan-bangunan antik ini berasal? Darah dan keringat rakyat indies mana yang tumpah? Tanah indies mana yang digali dan dikeruk hasil buminya? Pohon cengkeh, tembakau, vanili, karet dan aneka hasil kebun mana yang dipangkas untuk diangkut dan dijual di pasar penting dunia? Dari tanah jauh di timur sana kota ini dibangun, dari negeri yang sekarang bernama Indonesia, kota ini besar dan diperhitungkan dunia.
Tak semua generasi muda Belanda tahu, darimana uang pembangunan kota, kanal dan segala keperluannya di masa lalu itu berasal. Bisa dimengerti juga jika pemerintahan negara itu berusaha hanya memperlihatkan masa lalu “putih” negerinya, kepada generasi penerusnya.
Pertanyaan terus deras mengalir, bagaimana ceritanya, sebuah negeri yang “tak terlalu luas” ini bisa menguasai sebuah kawasan yang ribuan kali luas negerinya, lebih dari 350 tahun lamanya.
Termasuk juga pertanyaan, mengapa saat negeri itu kini merdeka dan bisa mengembangkan dirinya, justru terpuruk, miskin, saling menyakiti, sulit kompak dan semakin kehilangan harga dirinya.
Lamunan terhenti ketika juru mudi kapal itu membungkuk, membukakan pintu kapal, dan mempersilakan aku turun.
Tour keliling kanal kota Amsterdam selesai.
Pertanyaanku belum terjawab.
Iwan Esjepe,
Amsterdam, pertengahan Juli 2007
Tak semua generasi muda Belanda tahu, darimana uang pembangunan kota, kanal dan segala keperluannya di masa lalu itu berasal. Bisa dimengerti juga jika pemerintahan negara itu berusaha hanya memperlihatkan masa lalu “putih” negerinya, kepada generasi penerusnya.
Pertanyaan terus deras mengalir, bagaimana ceritanya, sebuah negeri yang “tak terlalu luas” ini bisa menguasai sebuah kawasan yang ribuan kali luas negerinya, lebih dari 350 tahun lamanya.
Termasuk juga pertanyaan, mengapa saat negeri itu kini merdeka dan bisa mengembangkan dirinya, justru terpuruk, miskin, saling menyakiti, sulit kompak dan semakin kehilangan harga dirinya.
Lamunan terhenti ketika juru mudi kapal itu membungkuk, membukakan pintu kapal, dan mempersilakan aku turun.
Tour keliling kanal kota Amsterdam selesai.
Pertanyaanku belum terjawab.
Iwan Esjepe,
Amsterdam, pertengahan Juli 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar