Dimuat di Reader's Digest Indonesia Edisi Agustus 2007Kepeduliannya atas negeri ini kerap beroleh tanggapan miring bahkan kecurigaan . Namun Iwan dan Indah nekad jalan terus, mewujudkan cita-cita mereka menjadi cheerleader alias pemandu sorak, yang menyemangati seluruh rakyat Indonesia.
Pagi itu, tanggal 26 Desember 2004,
sekitar pukul 09.00WIB, Iwan Esjepe, 40, dan istrinya, Rachmayani Indah Setianingrum, 37, tengah sarapan di sebuah restoran yang terletak di pinggir pantai Kuta, Bali.
Sambil asyik memperhatikan pemandangan, dan putra mereka, Ikyu Muti Arrumi, 5, yang tengah asyik bermain di pantai, Iwan sempat melontarkan tanya kepada Indah, “Wah, kalau ada tsunami kita lari ke mana, nih?” Indah menanggapi canda Iwan sekadarnya saja. Usai sarapan plus menikmati keindahan alam pantai Kuta, mereka pun kembali ke hotel.
Tak berapa lama, sebuah pesan SMS yang berasal dari Indri Sudowo, adik Iwan yang tinggal di Brisbane, Australia, masuk ke ponsel: “Indonesia kena tsunami, ya?”
Iwan dan Indah pun terkejut. Pasalnya mereka belum beroleh kabar apapun tentang terjadinya tsunami di Indonesia. Iwan segera menyalakan teve di kamar hotel mereka, dan benar saja, sejumlah stasiun teve tengah menayangkan bencana tsunami yang melanda Bangladesh, Thailand, dan juga di Aceh.
Saat itu juga Iwan dan Indah merasa sangat prihatin, sekaligus bersyukur diloloskan dari bencana dahsyat yang dapat saja menimpa mereka. Namun tak hanya sampai di situ saja.
”Kami ingin melakukan sesuatu, tapi bingung, tidak tahu harus berbuat apa,” ujar Iwan. Sampai akhirnya, setibanya di Jakarta, muncul ide mengumpulkan dana dengan cara membuat kaos dan menjualnya.
***
Membuat disain sebuah kaos bukan hal yang baru bagi Iwan dan Indah. Itu lantaran keduanya merupakan “orang periklanan” yang memang kerap berkutat dalam soal kreativitas menjual produk lewat disain iklan dan olah kata-kata.
Kebetulan, Iwan dan Indah memiliki alat sablon kaos di rumah mereka. Dengan menggunakan uang dari kocek mereka sendiri, kaos-kaos berdisain unik mulai mereka produksi. Usai itu, Iwan, yang pernah menjabat sebagai Creative Director di sejumlah perusahaan periklanan ternama di Indonesia, tanpa merasa segan atau malu-malu, menawarkan kaos-kaos seharga 50 ribu rupiah tersebut ke sejumlah orang, mulai dari teman dekat, rekan sekerja, dan sebagainya.
“Awalnya banyak yang bertanya-tanya,’ngapain, sih?’, ‘di-audit, nggak?’ atau bahkan bernada miring menuduh kami memanfaatkan bencana untuk kepentingan pribadi,” ujar Iwan. “Padahal, kenyataannya justru kami yang habis-habisan keluar dari kocek keluarga.”
Hal tersebut memang sempat membuat Iwan merasa down dan ragu untuk melanjutkan upaya penggalangan dana. Namun, Indah segera menyemangatinya, “Kenapa harus ragu kalau niatnya memang baik?”
Dan Iwan pun segera menghapuskan kegalauan hatinya, dan terus menggalang dana lewat kaos karyanya. “100 persen hasil keuntungan penjualan kaos-kaos tersebut kami donasikan untuk Aceh,” ujar Iwan.
Untuk penyampaian bantuan di Aceh, Iwan memutuskan untuk bekerjasama dengan sebuah yayasan yang dikelola oleh sebuah kelompok media. “Kami tahu benar komitmen yayasan tersebut, dan memang sudah sejak lama yayasan tersebut memiliki jaringan yang cukup kuat di Aceh.”
*
Kesempatan untuk membantu sesama muncul kembali saat bencana gempa bumi melanda Yogyakarta dan Jawa Tengah. “Kami kembali mendisain dan memproduksi kaos untuk penggalangan dana,” jelas Iwan.
Lagi-lagi mesin sablon milik mereka berjasa besar. “Hanya dalam waktu tiga jam setelah gempa, disain kaos selesai dibuat. Tiga hari kemudian, kaos sudah siap dijual untuk penggalangan dana. Dengan demikian, kami dapat mempersingkat waktu untuk memberi bantuan,” tegas Iwan.
Saking cepatnya kaos buatan Iwan dan Indah beredar, sambil bercanda, sejumlah teman dekat sempat mengomentari bahwa pasangan ini mempunyai jadwal bencana di Indonesia.
“Padahal, yang berjasa itu adalah mesin sablon kami yang berada di rumah,” ujar Iwan sambil tertawa. “Kalau di jaman revolusi, mesin cetak adalah alat terpenting, di masa seperti sekarang ini, mesin sablon lah yang terpenting. Itu karena hanya dalam waktu beberapa jam, kita sudah dapat menyampaikan pesan di selembar kaos, memakainya, dan hanya dengan berjalan-jalan, pesan dapat tersampaikan.”
Seperti halnya pada penggalangan dana Aceh, Iwan dan Indah juga bekerjasama dengan sebuah yayasan untuk menyampaikan bantuan. Namun, selain itu mereka juga langsung mendatangi lokasi bencana, dan menyerahkan bantuan.
“Dengan dana tersebut, kami membelikan sembako, sarung, cangkul, sampai beha, juga celana dalam, dan mengantarkannya langsung ke sebuah desa bernama Padasan, Imogiri,” papar Iwan.
Iwan sempat gelagapan ketika ditanya penduduk setempat yang hendak mencatat dari yayasan atau lembaga mana bantuan tersebut berasal. “Saya jawab saja: ‘dari pembeli kaos’,” kata Iwan tersenyum.
*
Bagi Iwan dan Indah, kegiatan membantu sesama merupakan pengalaman yang amat membekas di hati. Keprihatinan pasangan ini akan kondisi Indonesia telah membuka mata mereka untuk terus melakukan sesuatu bagi negeri tercinta.
“Dari sana muncul ide Action for The Nation alias Indonesia Bertindak. Intinya adalah mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk berusaha, dari dan untuk rakyat,” jelas Iwan.
Berbagai isu sosial pernah diangkat Iwan dalam bentuk komunikasi massa. Misalnya saat busung lapar melanda negeri ini, Iwan dengan cerdas mengkomunikasikan isu tersebut dengan printing material berupa gambar sendok yang difoto pada sisi cembungnya – menyerupai perut yang buncit akibat busung – dan memberinya komunikasi kata: Sendok Tanpa Nasi, Nasi Tanpa Gizi.
Begitu pula saat Indonesia divonis lewat travel warning, oleh sejumlah negara. “Kondisi Indonesia digambarkan sangat buruk, berdarah-darah, bahkan digolongkan sebagai kawasan Red Zone,” ujar Iwan kesal. “Saya rasa, siapapun, Warga Negara Indonesia, pasti prihatin dengan travel warning yang dijatuhkan atas negara kita.”
Tapi, menurut Iwan, pada kenyataannya memang tak ada tempat atau negara yang benar-benar aman di dunia ini, dan travel warning cenderung bermuatan politis. “Buktinya, berkat” travel warning, negara tetangga kita justru beroleh panen besar di bidang pariwisata!” tegas Iwan.
Namun Iwan pun menyadari bahwa Indonesia tidak dalam posisi yang menguntungkan untuk melawan stigma negatif tersebut. Lagipula, penerapan travel warning memang merupakan hak sebuah negara untuk melindungi warga negaranya.
Kembali Iwan dan Indah tak berhenti sampai di situ saja. “Kalau mereka punya hak menetapkan travel warning, saya juga punya hak menetapkan”TRAVEL WARNING: INDONESIA DANGEROUSLY BEAUTIFUL!“ ujar Iwan bersemangat.
Yang dimaksud Iwan tak lain adalah kampanye terbalik alias reverse campaign atas Indonesia, di mana justru peringatan kepada para wisatawan, bahwa keindahan Indonesia sungguh luar biasa, sehingga mampu membius siapapun yang mengunjunginya – yang dianalogikan sebagai dangerously beautiful.
Slogan tersebut kemudian dituangkan Iwan dalam bentuk stiker, kaos, tas dan pin, dan mulai disebarkan pada medio Maret 2007. “Untuk pembuatan stiker, saya dibantu oleh seorang tetangga, yang bersedia dibayar secara nyicil, lho!” jelas Iwan, yang menghabiskan dana awal sebesar 30 juta rupiah untuk mewujudkan kampanyenya ini.
Walau lagi-lagi dia sempat mendapat cap negatif, seperti sok kaya dan kurang kerjaan, Iwan tetap gigih menggerakkan jejaringnya untuk menyebarkan virus perubahan ini. “Sejumlah teman – orang asing – yang berada di luar negeri, ataupun sahabatnya yang hendak bepergian, baik ke dalam negeri maupun luar negeri, bersedia membantu menyebarkan stiker ini,” kata Iwan.
Bahkan, beberapa waktu lalu, sebuah perusahaan consumer goods bersedia mencetakkan stiker sebanyak 250 ribu lembar. “Hebatnya, perusahaan tersebut bersedia namanya tidak dicantumkan sedikitpun di stiker tersebut,” papar Iwan.
Stiker berwarna dasar merah dan kuning menyala tersebut memang terbukti mampu memprovokasi siapapun yang melihatnya. Hanya saja, tak jarang ada pihak yang salah menyikapinya, bahkan curiga.
“Maklumlah, kampanye ini menggunakan bahasa Inggris, sementara, pemahaman orang Indonesia soal hal ini masih kurang,” ujar Iwan. Namun, justru dengan penggunaan Bahasa Inggris tersebut, Iwan berharap kampanyenya dapat lebih bersifat global.
Tak hanya itu. Saat sejumlah civitas akademika di Bandung, yang turut mendukung kampanye Iwan, tengah turun ke jalan, mereka sempat ada juga oknum aparat pemerintah di lapangan yang justru berharap dapat menangguk untung dari kampanye ini.
Di sisi lain, Iwan tetap berharap agar kampanyenya ini dapat dilirik oleh pihak-pihak lain, seperti pemerintah. Tak lain karena sesungguhnya efektifitas kampanye ini akan lebih terasa bila dikerjakan secara bersama-sama. ”Apalah artinya seorang Iwan dan Indah, yang memiliki kemampuan terbatas ini,” ujar Iwan dengan nada merendah. ”Memunculkan kesadaran inilah yang sulit.”
Menurut Iwan, yang dia dan Indah cita-citakan sebetulnya tidak sulit. ”Kami hanya ingin menjadi cheerleader alias pemandu sorak bagi rakyat dan pemerintah Indonesia, agar solid dalam segala permasalahan yang menghadang bangsa ini,” tegas Iwan. ”Bagi kami, bila kampanye ini ternyata gagal, tak menjadi masalah. Yang terpenting, kami pernah berbuat secara nyata, dan melakukan tanggungjawab kami terhadap generasi yang akan datang.”
INDONESIA DANGEROUSLY BEAUTIFUL. ABSOLUTELY!
Penulis, Antono Nursatyo Purnomo
-----
Iwan dan Indah lewat Indonesia Bertindak, kini tengah berusaha mewujudkan kegiatan Lomba Poster Propaganda Pariwisata Indonesia. Dengan kaedah komunikasi ala dunia periklanan, lomba ini ditujukan untuk membalik stigma buruk tentang Indonesia di mata dunia internasional. Untuk mendukung kampanye Indonesia Bertindak, Anda dapat mengirimkan SMS ke 0888-8-17-1945.